Tulisan Alumni: Saya Mau Merasakannya

Tulisan Alumni: Saya Mau Merasakannya

Bermula dari kegelisahan yang sering menguasai batin saya. Tetapi saya tidak dapat mengenali penyebabnya. Saya tidak mampu mengetahui, apa yang sesungguhnya saya rasakan. Saya terus menerus melakukan apa saja yang yang diinginkan orang lain untuk mendapatkan “perhatian” mereka. Sekarang saya harus berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam batin saya.

Mengapa saya sering merasa jauh dari diri sendiri? Saya tidak menginginkan apa pun selain menyelesaikan pekerjaan yang ditanggungkan bagi saya. Saya tidak dapat menangis. Kadang-kadang saya merasa tersiksa jika orang lain berharap terlalu banyak dari diri saya. Akan tetapi saya tidak dapat mengatakannya dengan  terus terang dan membatasi diri saya. Saya merasa telah melakukan hal yang benar dengan menjalankan pekerjaan-pekerjaan baik, tetapi mengapa hasilnya bukan hidup sejahtera seperti yang dikatakan Kristus?

Saya berusaha agar kelihatan sebagai orang yang kuat dengan menyembunyikan perasaan-perasaan yang menggelisahkan itu. Cara yang biasa saya pakai adalah dengan menyibukkan diri sepanjang hari dengan begitu banyak pekerjaan, sehingga tidak ada kesempatan untuk merasakan perasaan-perasaan itu. Cara lain lagi adalah sengaja tidak memikirkan perasaan-perasaan itu dan secara sadar menekannya ketika perasaan-perasaan itu muncul. Saya melakukannya karena saya takut berhadapan dengan rasa bersalah jika kegelisahan itu terlihat oleh orang lain.

Myra Chave, menamai keadaan seperti diatas sebagai keterpecahan batin. Keterpecahan batin terjadi ketika tidak terdapat kesesuaian bahasa pikiran dan bahasa perasaan.  Dalam diri orang yang mengalaminya, telah terbentang jurang antara persona dan bayangan. Persona bagaikan topeng yang merupakan sikap atau pikiran terhadap diri sendiri dan terhadap kehidupan yang sudah mendarah-daging. Sedangkan bayangan adalah tempat di mana perasaan-perasaan kita terkubur. Bayangan bisa menjadi seperti penjara bagi penderitaan dan kesakitan yang tidak dapat kita atasi ketika perasaan-perasaan itu muncul pada saat yang sebenarnya tepat.

Dalam kondisi seperti ini, kita tidak lagi sanggup menderita ketika harus mengingat kembali kenyataan-kenyataan, peristiwa-peristiwa, perasaan-perasaan yang menyakitkan. Bagian masa lampau itu, yang sekarang berlindung dalam bayangan, berusaha mempertahankan keberadaannya sendiri dalam kegelapan. Dalam alam bawah sadar yang tak terlihat, kekuatannya bertambah besar sehingga ketika ada kesempatan, perasaan itu akan meledak dan menguasai diri kita, atau mulai memperlihatkan dirinya dalam bentuk sikap-sikap negatif.

Jika kita menginginkan terbebas dari penderitaan itu, maka yang harus kita lakukan adalah mengangkat kembali dunia batin yang tersembunyi itu ke dalam kesadaran kita sekarang. Kita juga harus berhadapan dengan penderitaan yang menyebabkan kita dulu mengubur perasaan-perasaan itu. Kita harus menangani luka-luka, kekacauan-kekacauan, dan pertentangan-pertentangan itu dengan penuh kesabaran. Kita sering kali menginginkan agar penderitaan itu segera disembuhkan.  Kita tidak terlalu peduli untuk mempelajari penyebabnya secara lebih mendalam. Padahal sesungguhnya tidak ada jalan pintas untuk memadukan kembali bahasa pikiran dan bahasa perasaan kita.

Bagaimana kita dapat mencapai keterpaduan itu? Langkah awalnya adalah menyadari adanya perasaan-perasaan yang mengacaukan itu. Langkah kedua, mengakui adanya bagian dari diri sendiri yang tersembunyi. Langkah ketiga, merenungkan secara teliti arti penting dari temuan itu, baik secara sendiri atau bersama seorang teman yang bijaksana atau bersama seorang yang berpengalaman.  Baik sendiri maupun bersama orang lain, kita harus membawa semuanya itu ke hadapan Tuhan dengan jujur. Kemudian kita akan menemukan satu cara tepat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan batin kita dari sudut pandang yang baru. Mungkin kita juga perlu meluangkan waktu untuk melakukan hobi kreatif yang baru. Hal ini dapat juga berarti bahwa kita harus lebih terbuka dan lebih rentan dalam relasi-relasi yang akan kita buat. Mungkin kita juga perlu untuk mengubah gaya hidup. Di lain pihak, bisa jadi muncul suatu dorongan untuk benar-benar mengubah sikap terhadap diri sendiri tanpa melalui perubahan bertahap. Apa pun pilihan kita, usaha menyembuhkan keterpecahan antara perasaan dan pikiran akan membuat kita menjadi orang yang lebih sehat secara keseluruhan. Kemudian kita akan menjadi pribadi tanpa kepalsuan.

Tulisan ini merupakan refleksi pribadi antara penulis dengan buku yang berjudul  “Dengarkan Perasaan Anda” karya Myra Chave – Jones (PT BPK Gunung Mulia, 1997).

R, Bandung, Agustus 2016

Kontak Kami logo Donasi

© PancaranAnugerah.ORG. All Rights Reserved. Designed by HTML Codex